Banyak
masyarakat yang menanyakan tentang kriteria amil zakat dan batasannya, hak-hak
dan kewajibannya, serta jatah zakat yang mereka terima, apakah harus
seperdelapan dari seluruh zakat atau bagaimana ? Tulisan di bawah ini
menjelaskannya :
Pengertian
Amil Zakat
Amil Zakat adalah orang yang mendapatkan tugas dari negara, organisasi,
lembaga atau yayasan untuk mengurusi zakat. Atas kerjanya tersebut seorang amil
zakat berhak mendapatkan jatah dari uang zakat. Berkata Abu Bakar al-Hushaini
di dalam Kifayat al-Akhyar(279)
: “Amil Zakat adalah orang yang ditugaskan pemimpin negara untuk
mengambil zakat kemudian disalurkan kepada yang berhak, sebagaimana yang
diperintahkan Allah.“
Dasar bagian amil zakat ini adalah firman Allah :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah : 60)
Sesuai
dengan namanya, profesi utama amil zakat adalah mengurusi zakat. Jika dia
memiliki pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang
tidak boleh mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat. Karena waktu dan
potensi, serta tenaganya dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia
berhak mendapatkan bagian dari zakat.
Adapun
jika dia mempunyai profesi tertentu, seperti dokter, guru, direktur perusahaan,
pengacara, pedagang, yang sehari-harinya bekerja dengan profesi tersebut,
kemudian jika ada waktu, dia ikut membantu mengurusi zakat, maka
orang seperti ini tidak dinamakan amil zakat, kecuali jika dia telah
mendapatkan tugas secara resmi dari Negara atau lembaga untuk mengurusi zakat
sesuai dengan aturan yang berlaku.
Bahkan
jika ada gubernur, bupati, camat, lurah yang ditugaskan oleh pemimpin Negara
untuk mengurusi zakat, diapun tidak berhak mengambil bagian dari zakat, karena
dia sudah mendapatkan gaji dari kas Negara sesuai dengan jabatannya. (Shahih Fiqh Sunnah, 2/69)
Amil zakat ini harus diangkat secara
resmi oleh Negara, organisasi, lembaga, yayasan. Tidak boleh sembarang
bekerja secara serabutan dan tanpa pengawasan. Dasar pengangkatan amil zakat
ini adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi :
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ
يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا
لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ
بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا
يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ
عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ
أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ
اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
“Dari
Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi
wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu
Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata:
"Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau
bersabda : "Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan
menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag
jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini,
kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya
berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang
mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat
oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku
sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali.“
(Hadist Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim)
Bagian Marketing Apakah Termasuk
Amil Zakat ?
Apakah bagian marketing di dalam lembaga zakat termasuk amil zakat? Jawabannya dia termasuk amil zakat jika
dia bekerja di lembaga tersebut secara resmi.
Apakah seseorang yang berceramah tentang zakat dan mengajak hadirin untuk
membayar zakat, kemudian setelah terkumpul zakat, penceramah tersebut berhak
mendapatkan bagian dari zakat? Jawabannya, bahwa jika sang penceramah tersebut
adalah salah satu pengurus lembaga amil zakat sebagai bagian marketing atau
pimpinannya atau bagian lainnya, maka dia berhak mendapatkan bagian zakat dari
profesinya yang bekerja di lembaga zakat bukan sebagai penceramah tentang
zakat.
Jika sang penceramah bukan dari pengurus lembaga zakat, tetapi diminta
oleh lembaga zakat untuk memberikan pengarahan tentang zakat dan memberikan
motivasi agar jama’ah yang hadir mengeluarkan zakat, sebaiknya dia tidak diberi
bagian zakat yang terkumpul, tetapi diberifee atau hadiah atau tanda terimakasih
atau uang transport dari sumber yang lain selain zakat, seperti infak, sedekah
dan hibah.
Dan hendaknya tidak ada perjanjian sebelumnya
tentang jumlah yang akan diterima sang penceramah, dan hadiah itu diberikan
setelah selesai ceramah. Ini dilakukan agar orientasi sang penceramah itu
adalah dakwah dan mengajak orang kepada kebaikan, bukan orientasi sebagai
seorang pegawai atau pekerja yang menuntut gaji.
Sebagian ulama membedakan antara amil
alaiha dengan amil
fiha, kalau amil aliha berarti yang diberi wewenang untuk
mengurusi zakat oleh Negara, sedang amil fiha adalah pegawai yang bekerja di
dalamnya untuk mengurusi zakat. Tetapi kedua-duanya berhak mendapatkan zakat. (Syarhu al-Mumti’ : 2/ 518)
Berapa
Besar Bagian Amil Zakat ?
Sebagian kalangan mengatakan bahwa amil zakat mendapatkan seperdelapan dari
jumlah seluruh zakat yang terkumpul. Mereka beralasan bahwa orang-orang yang
berhak mendapatkan zakat jumlahnya delapan golongan, amil zakat adalah salah
satu golongan, sehingga jatah yang didapatkan adalah seperdelapan dari zakat
yang terkumpul.
Tetapi pendapat ini kurang tepat, karena
delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat tidak selalu lengkap dan ada,
seperti golongan “fi
ar-riqab“ (budak) hari ini tidak didapatkan atau jarang didapatkan,
walaupun sebagian kalangan memperluas cakupannya seperti orang yang dipenjara.
Seandainya semua golongan itu ada, tetap saja jumlahnya tidak sama dengan
lainnya, sehingga kalau dipaksakan masing-masing golongan mendapatkan
seperdelapan, maka akan terjadi ketidakseimbangan dan mendhalimi
golongan-golongan lain yang mungkin jumlahnya sangat banyak, seperti golongan fakir
miskin.
Adapun pendapat yang lebih benar bahwa amil zakat mendapatkan bagian zakat
sesuai dengan kebijaksanaan Negara, organisasi, lembaga yang menaunginya.
Kebijaksanaan tersebut harus berdasarkan kemaslahatan umum, yang meliputi
kemaslahatan golongan-golongan lainnya seperti fakir, miskin, orang yang
terlilit hutang, dan lain-lainnya termasuk kemaslahatan amil zakat itu sendiri.
Amil zakat tidak harus dari orang yang fakir atau miskin, tetapi dibolehkan
juga dari orang yang kaya dan mampu. Dia mendapatkan bagian zakat, bukan karena
fakir atau miskin, tetapi karena kedudukannya sebagai amil zakat. Wallahu
A’lam.
Banyak
masyarakat yang menanyakan tentang kriteria amil zakat dan batasannya, hak-hak
dan kewajibannya, serta jatah zakat yang mereka terima, apakah harus
seperdelapan dari seluruh zakat atau bagaimana ? Tulisan di bawah ini
menjelaskannya :
Pengertian Amil Zakat
Amil Zakat adalah orang yang mendapatkan tugas dari negara, organisasi,
lembaga atau yayasan untuk mengurusi zakat. Atas kerjanya tersebut seorang amil
zakat berhak mendapatkan jatah dari uang zakat. Berkata Abu Bakar al-Hushaini
di dalam Kifayat al-Akhyar(279)
: “Amil Zakat adalah orang yang ditugaskan pemimpin negara untuk
mengambil zakat kemudian disalurkan kepada yang berhak, sebagaimana yang
diperintahkan Allah.“
Dasar bagian amil zakat ini adalah firman Allah :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ
وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah : 60)
Sesuai
dengan namanya, profesi utama amil zakat adalah mengurusi zakat. Jika dia
memiliki pekerjaan lain, maka dianggap pekerjaan sampingan atau sambilan yang
tidak boleh mengalahkan pekerjaan utamanya yaitu amil zakat. Karena waktu dan
potensi, serta tenaganya dicurahkan untuk mengurusi zakat tersebut, maka dia
berhak mendapatkan bagian dari zakat.
Adapun
jika dia mempunyai profesi tertentu, seperti dokter, guru, direktur perusahaan,
pengacara, pedagang, yang sehari-harinya bekerja dengan profesi tersebut,
kemudian jika ada waktu, dia ikut membantu mengurusi zakat, maka
orang seperti ini tidak dinamakan amil zakat, kecuali jika dia telah
mendapatkan tugas secara resmi dari Negara atau lembaga untuk mengurusi zakat
sesuai dengan aturan yang berlaku.
Bahkan
jika ada gubernur, bupati, camat, lurah yang ditugaskan oleh pemimpin Negara
untuk mengurusi zakat, diapun tidak berhak mengambil bagian dari zakat, karena
dia sudah mendapatkan gaji dari kas Negara sesuai dengan jabatannya. (Shahih Fiqh Sunnah, 2/69)
Amil zakat ini harus diangkat secara resmi oleh Negara, organisasi, lembaga, yayasan. Tidak boleh sembarang bekerja secara serabutan dan tanpa pengawasan. Dasar pengangkatan amil zakat ini adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi :
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ
يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا
لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ
بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا
يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ
عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ
أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ
اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
“Dari Abu Humaid as-Sa'idi radhiyallahu 'anhu berkata : Nabi shallallahu a’laihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: "Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku". Beliau bersabda : "Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik". Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): "Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan", sebanyak tiga kali.“ (Hadist Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim)
Bagian Marketing Apakah Termasuk Amil Zakat ?
Apakah bagian marketing di dalam lembaga zakat termasuk amil zakat? Jawabannya dia termasuk amil zakat jika
dia bekerja di lembaga tersebut secara resmi.
Apakah seseorang yang berceramah tentang zakat dan mengajak hadirin untuk
membayar zakat, kemudian setelah terkumpul zakat, penceramah tersebut berhak
mendapatkan bagian dari zakat? Jawabannya, bahwa jika sang penceramah tersebut
adalah salah satu pengurus lembaga amil zakat sebagai bagian marketing atau
pimpinannya atau bagian lainnya, maka dia berhak mendapatkan bagian zakat dari
profesinya yang bekerja di lembaga zakat bukan sebagai penceramah tentang
zakat.
Jika sang penceramah bukan dari pengurus lembaga zakat, tetapi diminta oleh lembaga zakat untuk memberikan pengarahan tentang zakat dan memberikan motivasi agar jama’ah yang hadir mengeluarkan zakat, sebaiknya dia tidak diberi bagian zakat yang terkumpul, tetapi diberifee atau hadiah atau tanda terimakasih atau uang transport dari sumber yang lain selain zakat, seperti infak, sedekah dan hibah.
Dan hendaknya tidak ada perjanjian sebelumnya
tentang jumlah yang akan diterima sang penceramah, dan hadiah itu diberikan
setelah selesai ceramah. Ini dilakukan agar orientasi sang penceramah itu
adalah dakwah dan mengajak orang kepada kebaikan, bukan orientasi sebagai
seorang pegawai atau pekerja yang menuntut gaji.
Sebagian ulama membedakan antara amil
alaiha dengan amil
fiha, kalau amil aliha berarti yang diberi wewenang untuk
mengurusi zakat oleh Negara, sedang amil fiha adalah pegawai yang bekerja di
dalamnya untuk mengurusi zakat. Tetapi kedua-duanya berhak mendapatkan zakat. (Syarhu al-Mumti’ : 2/ 518)
Berapa Besar Bagian Amil Zakat ?
Sebagian kalangan mengatakan bahwa amil zakat mendapatkan seperdelapan dari
jumlah seluruh zakat yang terkumpul. Mereka beralasan bahwa orang-orang yang
berhak mendapatkan zakat jumlahnya delapan golongan, amil zakat adalah salah
satu golongan, sehingga jatah yang didapatkan adalah seperdelapan dari zakat
yang terkumpul.
Tetapi pendapat ini kurang tepat, karena
delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat tidak selalu lengkap dan ada,
seperti golongan “fi
ar-riqab“ (budak) hari ini tidak didapatkan atau jarang didapatkan,
walaupun sebagian kalangan memperluas cakupannya seperti orang yang dipenjara.
Seandainya semua golongan itu ada, tetap saja jumlahnya tidak sama dengan
lainnya, sehingga kalau dipaksakan masing-masing golongan mendapatkan
seperdelapan, maka akan terjadi ketidakseimbangan dan mendhalimi
golongan-golongan lain yang mungkin jumlahnya sangat banyak, seperti golongan fakir
miskin.
Adapun pendapat yang lebih benar bahwa amil zakat mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebijaksanaan Negara, organisasi, lembaga yang menaunginya. Kebijaksanaan tersebut harus berdasarkan kemaslahatan umum, yang meliputi kemaslahatan golongan-golongan lainnya seperti fakir, miskin, orang yang terlilit hutang, dan lain-lainnya termasuk kemaslahatan amil zakat itu sendiri.
Amil zakat tidak harus dari orang yang fakir atau miskin, tetapi dibolehkan
juga dari orang yang kaya dan mampu. Dia mendapatkan bagian zakat, bukan karena
fakir atau miskin, tetapi karena kedudukannya sebagai amil zakat. Wallahu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar